14 Tokoh Asal Jabar Jadi Wajah Baru Fly Over Kiaracondong, Pahlawan hingga Artis

14 Tokoh Asal Jabar Jadi Wajah Baru Fly Over Kiaracondong, Pahlawan hingga Artis

14 Tokoh Asal Jabar Jadi Wajah Baru Fly Over Kiaracondong, Pahlawan hingga Artis 700 525 admin

Bandung – Pagi hari di Kiaracondong terasa begitu bising dan padat. Maklum, Kiaracondong merupakan kawasan pusat aktivitas masyarakat Bandung. Mulai dari keberadaan Stasiun Kiaracondong, Pasar Kiaracondong, dan tak jauh dari situ ada Kiara Artha Park yang jadi ruang publik favorit para wargi Bandung.
Kebisingan dan kepadatan jalanan memang tidak berubah, namun ada sesuatu yang baru dari fly over Kiaracondong yang membuatnya tampak lebih segar dan cantik. Belum lama ini fly over Kiaracondong di cat warna-warni. Uniknya, pada bagian tiang penyangganya kini terdapat gambar wajah dan nama para publik figur asli Jawa Barat.

Sebelum dipercantik, jembatan layang ini sudah berdiri dan hanya di cat warna putih yang mulai memudar. Terkesan kurang terawat dan kurang terjaga kebersihannya.

Menyambut wajah baru, warga setempat berharap agar kecantikan Fly Over Kiaracondong tidak akan dikotori dengan tangan-tangan yang tidak bertanggungjawab.

“Ya bagus, mending dilukis seperti ini daripada kotor lusuh dicorat-coret. Ini weh moal lila ge di corat-coret, kuduna dibere peringatan tulisan kitu biar tetep bersih. Semoga pada sadar udah bagus jangan dirusak pake vandalisme,” ujar Dedi (50), warga daerah Stasiun Lama ditemui di daerah Pasar Kiaracondong pada Sabtu (3/12) pagi.

Hingga hari ini, wajah baru jembatan layang Kiaracondong masih terjaga dan membuatnya terlihat lebih terjaga kebersihannya. Mulai dari pejabat, seniman, hingga penyanyi terlukis dengan apik di tiang fly over.

Wajah baru jembatan layang meski kawasan Kiaracondong tetap padat. Foto: Anindyadevi

Para tokoh dari tanah Sunda tergambar di flyover ini, namun mungkin sebagian warga belum mengenal siapa sosoknya. Berikut 14 wajah yang tergambar di Fly Over Stasiun Kiaracondong, dalam informasi yang dihimpun detikJabar melalui liputan dan berbagai literatur:

1. Ibrahim Adjie
Pangdam Siliwangi Mayjen Ibrahim Adjie, Panglima Kodam VI Siliwangi ini lahir di Bogor, 24 Februari 1924. Ia adalah seorang Soekarnois sejati yang selalu siap sedia saat sewaktu-waktu keberadaannya dibutuhkan Sang Proklamator.

Saat masa kepemimpinan Soeharto, Ibrahim Adjie ditunjuk sebagai Duta Besar Indonesia untuk Britania Raya pada 1966. Ia membuka usaha Restoran Rindu Alam dan mendirikan beberapa jalan raya, salah satu jalan yang paling terkenal ialah jalan Trans Barelang yang terletak di Rempang Cate, Galang, Kota Batam, Kepulauan Riau, dengan panjang 54 km.

Ibrahim Adjie wafat di Rumah Sakit Mount Elizabeth di Singapura pada 25 Juli 1999 akibat stroke. Namanya diabadikan menjadi salah satu jalan di kawasan Kiaracondong, Bandung.

2. Inggit Garnasih
Perempuan kelahiran 17 Februari 1888 dari Desa Kamasan, Banjaran, Kabupaten Bandung ini merupakan pendamping Soekarno. Inggit berada dibalik perjuangan Soekarno memerdekakan Indonesia. Salah satu kisahnya saat Bung Karno ditahan di Penjara Banceuy, ia menyembunyikan tumpukan buku dibalik kebayanya agar Soekarno bisa membaca di dalam penjara.

Inggit lahir dari keluarga petani sederhana. Ayahnya bernama Arjipan dan ibunya bernama Amsi. Pendidikan Inggit hanya sampai Madrasah Ibtidaiyyah atau setingkat sekolah dasar. Inggit Garnasih berparas cantik, sehingga membuatnya banyak disukai kawan-kawannya. Nama lahirnya sebenarnya Garnasih, dari yang Hegar berarti segar dan Asih berarti cinta.

Dalam buku Kuantar ke Gerbang; Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno oleh Ramadhan KH dijelaskan, demi menunjukkan perhatiannya kepada si gadis cantik itu, banyak laki-laki yang mahugi (memberi hadiah dengan harapan mendapat balasan cinta) berupa uang.

Bahkan tak jarang diberikan mahugi hingga satu ringgit (2,5 rupiah). Dari kejadian-kejadian itulah Garnasih dijuluki Si Ringgit yang lambat laun dikenal menjadi Inggit, kemudian menempel di depan nama Garnasih, sehingga dikenal sebagai Inggit Garnasih.

3. Nurtanio
Nurtanio Pringgoadisuryo adalah tokoh perintis industri pesawat terbang pertama di Indonesia, ia disebut sebagai Bapak Perintis Industri Pesawat Terbang. Nurtanio lahir di Kandangan, Kalimantan Selatan pada 3 Desember 1923 dan meninggal dunia di umur 42 tahun pada suatu kecelakaan pesawat terbang uji coba pada tanggal 21 Maret 1966 di Bandung.

Pada awal kemerdekaan Indonesia, Nurtanio bergabung dengan Angkatan Udara di Yogyakarta dan diberi jabatan Sub Bagian Rencana di bagian Kepala Bagian Rencana dan Penerangan. Temuan-temuan hebat Nurtanio dilakukan bersama Wiweko Soepono pada tahun 1947.

Mereka berhasil membuat pesawat layang Zogling NWG(Nurtanio-Wiweko-Glider) yang merupakan pesawat satu-satunya buatan Indonesia dari kayu jamuju. Pesawat pertama yang Nurtanio buat adalah Sikumbang yang terbuat dari bahan metal, disusul dengan pesawat Kunang-Kunang, Belalang, dan lain-lain.

Jasa-jasanya dalam bidang pesawat terbang membuatnya mendapatkan anugerah oleh Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) sebagai Bapak Dirgantara Indonesia yang diberikan langsung kepadanya dan kepada Presiden Republik Indonesia ketiga, BJ Habibie. Nama Nurtanio telah dipakai sebagai nama universitas, perangko tahun 2003, Industri Pesawat Terbang Nurtanio yang sekarang telah berganti menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN).

Wajah Nurtanio hiasi Fly Over Kiaracondong Bandung. Foto: Anindyadevi Aurellia
4. Otto Iskandar Dinata
Wajah pahlawan Otto Iskandardinata diabadikan dalam uang kertas pecahan Rp 20.000 yang dikeluarkan pertama kali oleh Bank Indonesia pada 29 Desember 2004.

Di Kota Bandung juga ada Jalan yang dinamai Otto Iskandardinata atau biasa disingkat Otista. Nama Stadion di Kabupaten Bandung pun ternyata berasal dari julukan Otto Iskandardinata.

Raden Otto Iskandardinata mempunyai julukan Si Jalak Harupat, karena dikenal sebagai pejuang dengan kejujuran dan keberaniannya. Otto Iskardinata yang lahir dari keluarga bangsawan Sunda, lahir di Bojongsoang, Dayeuhkolot, Bandung, pada 31 Maret 1897. Ia pernah bersekolah di HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Bandung, Sekolah Guru, sampai HKS (Hoogere Kweek School) Sekolah Guru Atas di Purworejo, Jawa Tengah.

Saat revolusi sudah digemakan, pasukan sekutu masih ingin menduduki kota Bandung. Warga aseli Bandung marah dan ingin mengusir para tentara Belanda. Mereka yang berjualan di sekitar Pasar Baru, sepakat tak mau menjualkan barang dagangannya pada sekutu Belanda. Para pedagang tersebut rela bertaruh nyawa, karena tentara Belanda mulai marah dan menodongkan senjata untuk memaksa para pedagang mau menjual barang dagangannya.

Masalah semakin menjadi-jadi, Otto Iskandar Dinata menjadi tokoh yang turun tangan untuk menengahi masalah. Ia berusaha menenangkan para pedagang agar bersedia menjualkan dagangan pada sekutu Belanda, sembari masalah dengan penjajah coba untuk diurai. Akibat perannya tersebut, maka sekitar jalan di daerah Pasar Baru dinamai Jalan Otto Iskandar Dinata atau disingkat Jalan Otista.

Perannya pada kebangkitan Bangsa tak hanya sampai disitu. Dengan kekuatan yang dimilikinya, ia bahkan turut aktif membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang selanjutnya berkembang menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Sampai akhirnya berubah menjadi ABRI dan TNI yang kita kenal sekarang ini. Ia terkenal sangat berani melawan penjajah.

Sekelompok orang yang tak menyukai kiprah Otto berusaha menyingkirkannya. Sejak kepergian Otto menghadiri sebuah ‘rapat’, ia tidak pernah terlihat lagi. Tersiar kabar jika Otto Iskandardinata dibawa ke Pantai Mauk, Banten. Di sana ia dibunuh oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, tepatnya pada tanggal 20 Desember 1945.

5. Dewi Sartika
Potret Dewi Sartika, Pahlawan Perempuan diabadikan di kaki Fly Over Kiaracondong. Foto: Anindyadevi

Raden Dewi Sartika lahir di Cicalengka, 4 Desember 1884. Ia adalah putri dari keluarga terpandang yang memiliki keinginan untuk menjadi guru. Tahun 1904, ia wujudkan cita-cita itu dengan membangun sekolah perempuan di Bandung dengan nama Sakola Istri. Muridnya berjumlah 20, dengan tiga tena apendidik. Mata pelajaran yang diajarkan adalah menyuci, menyetrika, menjahit, mencuci, menyulam, dan membatik.

Ruangan Kepatihan Bandung jadi saksi berjalannya kegiatan belajar mengajar, hingga ruangan tersebut tak mampu lagi menampung murid yang terus bertambah. Enam tahun kemudian, Sakola Istri berganti nama menjadi Sekolah Kaoetamaan Istri. Hingga 1929, Belanda memberi dukungan dengan menyediakan bangunan baru dan akomodasi sekolah. Nama sekolah tersebut akhirnya diubah menjadi Sekolah Raden Dewi.

6. Mashudi
Letjen TNI (Purn) Haji Mashudi lahir di Desa Cibatu, Garut, Jawa Barat, 11 September 1919. Ia meninggal di Bandung, 22 Juni 2005 pada umur 85 tahun karena serangan jantung. Mashudi adalah mantan Gubernur Jawa Barat dan mantan Ketua Kwartir Nasional (Kwarnas) Gerakan Pramuka pada tahun 1978-1993.

Mashudi menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat dari tahun 1960-1970. Ketika ia menjadi gubernur, terjadi peristiwa 30 September yang harus mengorbankan rekan-rekannya dulu di AMS B Yogyakarta (sekarang SMA Negeri 3 Yogyakarta), Siswondo Parman dan R. Suprapto menjadi korban di Lubang Buaya.

Mashudi lalu menjadi Ketua Majelis Pembimbing Pramuka Jawa Barat sejak tahun 1961. Pada tahun 1974, ia menjadi Ketua Kwartir Daerah Gerakan Pramuka Jawa Barat. Pada tahun yang sama, Mashudi dipilih menjadi Wakil Ketua Kwarnas Gerakan Pramuka.

Di tengah masa baktinya sebagai Wakil Ketua Kwarnas, Mashudi ditunjuk menjadi Pjs Ketua Kwarnas Gerakan Pramuka menggantikan Sarbini hingga tahun 1978. Dalam Munas Gerakan Pramuka di Bukit Tinggi, Sumatra Barat pada tahun 1978, Mashudi terpilih secara aklamasi menjadi Ketua Kwarnas Gerakan Pramuka hingga tahun 1993.

7. Moh Toha
Mohammad Toha adalah pahlawan Jawa Barat kelahiran Bandung. Ia adalah seorang komandan Barisan Rakjat Indonesia, sebuah kelompok pejuang pada masa Perang Kemerdekaan Indonesia. Toha mulai mengenal dunia militer dengan memasuki Seinendan.

Setelah Indonesia merdeka, Toha terpanggil untuk bergabung dengan badan perjuangan Barisan Rakjat Indonesia (BRI). Ia tumbuh menjadi seorang pemuda yang cerdas, disiplin, dan pemberani. Ia menjadi salah satu pahlawan yang berperan dalam peristiwa Bandung Lautan Api. Kini, namanya dikenang menjadi salah satu jalan di kota Bandung.

8. Nike Ardila
Raden Rara Nike Ratnadilla Kusnadi atau Nike Ardilla lahir di Bandung, 27 Desember 1975 adalah penyanyi, pemeran, dan model berkebangsaan Indonesia. Sejak kecil, Nike memang sudah menunjukkan ketertarikannya pada dunia tarik suara. Bakat menyanyi Nike mulai tumbuh sejak masih berumur 5 tahun. Darah seni Nike mengalir dari kakeknya, yang merupakan seorang penyanyi keroncong.

Lagu ‘Seberkas Sinar’ yang rilis pada 1989 menjadi lagu yang mengantarkan kesuksesan seorang Nike Ardilla namanya melejit di industri musik. Ini membuatnya lebih dikenal sebagai penyanyi rock wanita paling populer, meski wajahnya yang wara-wiri menjadi bintang iklan, gadis sampul, dan pemain film.

Namun sayangnya, peristiwa nahas dialami penyanyi cantik ini. 27 tahun silam tepatnya 19 Maret 1995, Nike mengalami kecelakaan maut di Jalan L.L.R.E Martadinata, Kota Bandung. Kecelakaan itu pun merenggut nyawa Nike yang saat itu belum genap berusia 20 tahun saat dirinya berada di puncak popularitas.

Kenangan yang jadi saksi bisu kecelakaan Nike Ardilla masih terpampang di Jalan L.L.R.E Martadinata. Terdapat pagar tembok yang saat itu ditabrak mobil Honda Civic berwarna biru metalik plat D 27 AK yang dikendarai sang penyanyi. Pagar itu masih berdiri kokoh di depan salah satu kafe.

9. Didi Petet
H. Didi Widiatmoko yang lebih dikenal dengan Didi Petet, lahir pada 12 Juli 1956 di Surabaya, Indonesia. Ia adalah seorang aktor dan produser Indonesia yang terkenal dengan akting khas pada setiap karakter yang dibawakan.

Sepanjang kariernya selama tiga dekade, ia telah menerima berbagai penghargaan, termasuk satu Piala Citra di Festival Film Indonesia, untuk perannya dalam drama romantis Cinta Anak Jaman (1988) sebagai Aktor Pendukung Terbaik.

Beberapa filmnya yakni Catatan Si Boy (1987) memerankan sosok Emon, Guru Bangsa Tjokroaminoto (2015), Madre (2013), dan Pasir Berbisik (2001). Beliau meninggal pada tanggal 15 Mei 2015 di Tangerang Selatan, Banten, Indonesia.

Pria ini memang berasal dari Jawa Timur, namun ia besar dengan budaya Sunda. Didi Petet terkenal salah satunya juga saat memerankan tokoh Kabayan, dalam film Si Kabayan dan Gadis Kota (1990) dengan lawan mainnya Paramitha Rusady. Film ini menjadi sekuel atas kesuksesan film sebelumnya, yakni Si Kabayan Saba Kota (1989) yang diperankan juga oleh mereka. Film ini fdiproduksi oleh Pemerintah Jawa Barat Tingkat I & PT Kharisma Jabar Film.

10. Kang Ibing
Jauh sebelum Didi Petet memainkan peran tokoh berpolah lucu dan polos ini, warga Jawa Barat khususnya Bandung, begitu mengingat sosok bernama Raden Aang Kusmayatna Kusiyana Samba Kurnia Kusumadinata atau yang lebih akrab disapa Kang Ibing.

Lewat peran Kang Ibing lah, sosok Kabayan yang kerap dijadikan cerminan masyarakat Sunda mulai diperkenalkan ke dunia hiburan, terutama film dan serial televisi Tanah Air. Kang Ibing memerankan perannya dalam film Si Kabayan (1975).

Kang Ibing punya grup lawak sendiri yang diberi nama De’ Kabayan bersama Aom Kusman, Suryana Fatah, Wawa Sofyan, dan Mang Ujang. Grup yang dibentuk setelah ia sukses memerankan sosok Kabayan lewat polesan salah satu sutradara asal Jakarta.

Ia mengawali karirnya sebagai seorang penyiar di Radio Mara di Bandung. Pria kharismatik asal Sumedang kelahiran 20 Juni 1946 ini memang punya ciri khas sendiri dalam berkomedi. Gayanya yang natural dan tak tergantikan langsung klop dengan Radio Mara, sehingga ia diberi panggung untuk mengudara.

11. Harry Roesli
Pemilik nama asli Djauhar Zaharsyah Fachrudin Roesli ini lahir di Bandung, 10 September 1951. Dilansir dari laman Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada awal 1970-an nama panggung Harry Roesli mulai melambung. Saat itu ia membentuk kelompok musik Gang of Harry Roesli bersama Albert Warnerin, Indra Rivai dan Iwan A Rachman.

Di tengah kesibukannya bermain band, ia mendirikan kelompok teater Ken Arok pada 1973. Setelah melakukan beberapa kali pementasan, Opera Ken Arok di TIM Jakarta pada Agustus 1975, grup teater ini kemudian bubar, karena Harry mendapat beasiswa dari Ministerie Cultuur, Recreatie en Maatschapelijk Werk (CRM), belajar ke Rotterdam Conservatorium, Belanda.

Gelar Doktor Musik diraihnya pada tahun 1981, kemudian selain tetap berkreasi melahirkan karya-karya musik dan teater, juga aktif mengajar di Jurusan Seni Musik di beberapa perguruan tinggi seperti Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung dan Universitas Pasundan Bandung.

Dia ini juga kerap membuat aransemen musik untuk teater, sinetron dan film, di antaranya untuk kelompok Teater Mandiri dan Teater Koma. Juga menjadi pembicara dalam seminar-seminar di berbagai kota di Indonesia dan luar negeri, serta aktif menulis di berbagai media, salah satunya sebagai kolumnis Kompas Minggu.

Ia melahirkan budaya musik kontemporer yang berbeda, komunikatif, dan konsisten memancarkan kritik sosial. Penampilannya khas dengan tampilan berkumis, berjambang, janggut lebat, berambut gondrong, dan berpakaian serba hitam. Harry meninggal dunia hari Sabtu 11 Desember 2004 di RS Harapan Kita, Jakarta.

12. Asep Sunandar Sunarya
Asep Sunandar Sunarya lahir di Bandung, 3 September 1955. Ia adalah seorang maestro wayang golek di Indonesia. Penghargaan demi penghargaan, baik dari tingkat lokal, provinsi, nasional, bahkan mancanegara telah didapatkannya.

Berkat kreativitas dan inovasinya, ia berhasil meningkatkan lagi derajat wayang golek yang dianggap seni kampungan oleh segelintir orang. Peningkatan itu dilakukan dengan menciptakan wayang Cepot yang bisa mangguk-mangguk, Buta muntah mie, Arjuna dengan alat panahnya, Bima dengan gadanya begitu pula dengan pakaian wayangnya yang terkesan mewah.

Ia begitu menyatu dengan dunia wayang golek, bisa dikatakan Asep adalah salah satu maestro yang mempopulerkan Wayang Cepot di Indonesia. Dengan berbagai kreativitas dan inovasinya, wayang golek bisa dinikmati oleh semua orang.

Saat ini Padepokan Giri Harja 3, tempatnya berkreasi, telah diteruskan oleh beberapa anak keturunannya. Salah satunya adalah anak kedua Asep, yakni, Dadan Sunandar Sunarya.

13. Mang Udjo Ngalagena
Udjo Ngalagena lahir di Bandung 5 Maret 1929. Ia adalah seniman angklung dan pendiri Saung Angklung Udjo. Mang Udjo merupakan anak keenam dari pasangan Wiranta dan Imi. Pada usia antara empat sampai lima tahun, Udjo kecil sudah akrab dengan angklung.

Ia membangun Saung Angklung Udjo pada tahun 1966 bersama dengan istrinya, Uum Sumiati. Tujuannya untuk melestarikan seni dan budaya tradisional Sunda. Selain kunjungan wisata seni dan budaya, Saung Angklung Udjo juga sering kali mendapat kunjungan dari rombongan sekolah yang ingin mempelajari kebudayaan tradisional langsung di tempatnya.

Saung Angklung Udjo juga menarik perhatian dunia internasional sehingga banyak wisatawan asing yang datang berkunjung untuk menikmati suara angklung yang indah dan menenangkan hati.

14. Raden AA Wiranatakusumah
Raden Aria Adipati Wiranatakoesoema V (1888-1965), ialah seorang bupati Bandung pada zaman kependudukan Jepang, tepatnya periode 1920-1931. Dijelaskan dalam buku Ensiklopedi pendudukan Jepang di Indonesia oleh Nino Oktorinoada, bahwa tahun 1945 ia diangkat menjadi anggota BPUPKI dan PPKI. Ia kemudian menjadi menteri dalam negeri RI pertama dan pernah menjabat sebagai Wali Negara Pasundan, salah satu negara federal RIS.

Nah detikers, itulah tadi 14 tokoh dari Sunda yang jadi wajah baru fly over Stasiun Kiaracondong. Jaga baik-baik fasilitas kota yang sudah diperbaiki, ya!